Kerja keras dan sukses di lapangan NBA serta sarat prestasi bersama tim nasional membawa Manu Ginobili menjelma menjadi seorang pahlawan kebanggaan rakyatnya.

Semua kisah ini berawal di bulan Juli tahun 2000 lalu. Kota Buenos Aires seperti biasa bercuaca panas dan angin bertiup dengan lambat, nyaris menyisakan kekeringan di jalan-jalan kota yang namanya besar di dunia karena prestasi timnas sepakbolanya. Hari yang tidak bersahabat itu juga yang dirasakan oleh Joaquin Santos, pemain nasional bola basket Argentina. Kerongkongannya terasa kering. Kedua alis matanya membentuk sebuah sudut di dahi dan bola matanya memicing tajam. Seperti ada bara api menyala di kedua mata latinnya.

Dihadapannya, seorang anak Amerika Serikat mendribel bola. Seakan menatap dengan mata sinisnya ia mencoba memancing Santos untuk keluar menjaganya. Mereka memang bukan sedang berada dalam sebuah turnamen internasional, namun sedang bermain one on one di lapangan belakang rumah. Itu memang bukan lapangan besar dan bagus, tapi di sanalah emosi dan rasa nasionalisme kedua orang ini beradu. Santos sejatinya seorang point guard, urusan menjaga lawan dan mencetak angka adalah keahliannya. Namun di hadapan lawannya kini, Santos seakan tidak berkutik.

Bakat kedua pemain itu sama bagusnya. Bedanya, si anak Amerika itu punya shooting yang lebih akurat dari companero nya. Dia bisa membuat Santos tertekan dengan satu-dua dribel cepat sebelum meletakkan bola dengan tenang di ring. Dia juga seperti sedang berlatih ringan dengan lompatannya yang menjulang tinggi. Dia seperti seorang Tracy McGrady yang lincah dan sukar dijaga oleh pemain sekelas Santos. Ya, Santos seperti sedang berada dalam sebuah game Mortal Kombat dan lawan siap menghabisinya dengan kalimat, “Finish Him!”

Si Amerika segera melambatkan tempo bermain. Membiarkan Santos mengambil nafas dan melepaskan penjagaan ketatnya. Ia membiarkan Santos masuk ke paint area, membuka ruang tembaknya dan sedikit menyentuhnya di depan ring. Namun di sanalah awal kejatuhannya. Membiarkan Santos berlari dengan bola di tangan adalah sebuah kesalahan yang dibayar mahal si Amerika. Keadaan berbalik dan poin menjadi milik Santos. Dengan penyelesaian sempurna, Santos menutup game hari itu dengan senyum kemenangan. Nafasnya yang terengah-engah menjadi bukti perlawanan kerasnya hari itu. Si Amerika bukan lagi yang terkuat di halaman belakang rumah Santos.

“Kami yang terbaik. Kami terbaik di dunia saat ini,” teriak Santos lantang pada lawannya. Si Amerika terhenyak dan menatapnya dengan mulut terbuka lebar. “Apa katamu? Terbaik di dunia? Dia gila!” ujar lawannya sinis. Ya, pembaca sekalian, harap mengerti kondisi saat itu. Tim nasional bola basket Amerika Serikat adalah yang terbaik di dunia dan punya segudang pemain berbakat seperti Vince Carter, si empunya slam dunk spektakuler dan disebut-sebut sebagai reinkarnasi bakat sang legenda Michael Jordan. Jadi wajar kalau ucapan lantang Santos diangap sebuah jargon kemenangan hampa belaka.

Dunk? Sure !!

Dua tahun setelah itu, dunia bola basket mulai melihat hal yang ajaib. Argentina dengan diperkuat oleh seorang pemain junior bernama Manu Ginobili membuat sensasi. Mereka mengalahkan Amerika Serikat dan meraih medali Perak kejuaraan dunia bola basket di tanah Paman Sam. Dihadapan para penonton fanatik kota Indianapolis itulah sejarah dimulai. Dua tahun setelah itu, dengan kebintangan Ginobili yang semakin bersinar terang, Argentina menjadi juara di ajang olahraga paling bergengsi, Olimpiade Athena.

Ingat ungkapan Santos tentang negaranya yang terbaik di dunia? Terbukti!

Kembali ke masa kini. Musim ini diselesaikan Manu Ginobili dengan baik. Namanya diteriakkan nyaring oleh fans. Akhiran “i” di belakang namanya sering diplesetkan dengan aksen Spanyol yang berarti poin. “Ginobil, Ginobil,” demikian para fans menyemangati pemain murah senyum ini. Mengemas 34 poin di awal Desember dan mencetak rataan 34.4 angka setiap malam bersama Spurs tentu bukan hal remeh bagi pemilik postur 1.93m dan berat 85 kg ini. Ia selesaikan juga dengan mengantar Spurs bertemu Lakers di semifinal wilayah Barat. Siapa yang juara? Kalian tentu sudah bisa melihatnya saat tulisan ini dibaca.

Dunk bukan masalah buat Manu

Faktanya, Ginobili berada nomor 4 di belakang LeBron James, Chris Paul dan Amare Stoudemire untuk urusan pemain paling efisien (PER) liga NBA sepanjang babak reguler. Memang kehidupan berjalan seperti roda Roullete bagi Spurs. Nasib baik dan kemujuran berperan besar untuk bisa membawa mereka seperti sekarang. Mereka misalnya sempat murung saat cederanya David Robinson. Namun di balik itu, roda kemujuran berjalan dengan membawa masuk Tim Duncan sebagai pengganti yang tidak kalah bagus dengan seniornya itu. Kemudian fans kembali murung saat manajemen tim memutuskan menghemat biaya dan membeli pemain tidak terkenal dari negara sepakbola, Argentina.

Tepat sekali. Manu Ginobili bukan siapa-siapa saat pertama kali dibeli oleh Spurs. Ia hanya memenangkan dua kali juara liga bola basket di Italia dan masuk draft di urutan 57 tahun 1999 lalu. Saat itu Spurs juga ditertawakan orang saat membawa masuk anak Perancis, Tony Parker ke liga. Ginobili berjuang keras untuk membuktikan dirinya pantas berada di skuad Spurs. Seperti legenda sepakbola Argentina Diego Armando Maradona yang berjuang keras melawan para pencacinya, demikian juga Ginobili di awal karir. Kekerasan dan keteguhan hatinya dikenang sang pelatih, Greg Popovich. “Dia menjadi pemain Amerika Latin yang terbaik yang pernah kulihat,” ucapnya tahun 2006 lalu.

Mungkin satu-satunya hal paling mengesalkan dari Manu Ginobili adalah sikapnya yang terkadang lembek di lapangan. Awal karirnya, ia sering sekali mengeluh tentang bagaimana kerasnya penjagaan lawan. Setelah sebuah diskusi ringan dengan rekan setimnya, sikap Manu berubah. Ia menjadi lebih konyol dan mengesalkan. Dalam satu pertandingan melawan Mavericks, Manu terlihat melakukan foul dan wasit memanggilnya untuk memberi peringatan. Apa yang dilakukan Manu? “Peace my friend!” ujarnya sambil mengangkat tangan dan menepuknya ke pundak wasit.

Namun di balik sikap remehnya itu, Manu punya semua yang diperlukan Spurs. Ia bisa menjadi penembak yang jitu. Ia juga bisa jadi pengumpan yang baik. Ia bahkan juga bisa melakukan lay up sambil berjatuhan di bawah ring. Untuk yang terakhir ini adalah gaya yang paling sering ditunjukkannya di liga. Semua orang akan mengecapnya sebagai Si Tukang Tabrak karena kebiasaanya masuk ke paint meski dikawal ketat. Buntutnya, Manu pasti terjatuh sambil berteriak dan membuka mulutnya. Persis orang kehausan. Lalu hasilnya? Poin bagi Spurs!

Di lain waktu Manu akan terlihat sebagai pemain luar yang berdiri di garis dan siap menembak. Gaya melemparnya aneh, persis seorang rookie yang sedang belajar. Tapi Manu punya kelebihan di sana. Dia memang identik dengan poin. Rasanya sulit memaksa Manu menembak jika dirinya tidak benar-benar yakin bakal mencetak angka. Jadi biarkan saja dia bekerja dengan gayanya.

Sekarang, coba kalian tanyakan pendapat Facundo Campazzo, PG Argentina yang sempat bermain bersama Manu. Dia tandem yang sempurna buat si tukang protes itu. Saat berada di lapangan mereka berdua bagaikan saudara sejati. Keduanya saling mengetahui dimana yang lain berada. “Kami mengaguminya dengan persaudaraan sejati,” ujar Facundo. Hal yang sama diungkapkan oleh sang pelatih di skuad Tango, Enrique Tocachier. “Dia sangat berpengaruh di Argentina. Semua anak muda yang menyukai bola basket di sana ingin meniru dan memastikan gaya dan gerakan mereka sama seperti Manu Ginobili. Ia memberi contoh yang baik tentang semangat Argentina di lapangan basket. Ia memotivasi rekannya dengan tidak bermain buruk selama pertandingan. Ia contoh yang bagus untuk anak-anak muda zaman sekarang.”

Quotation

“Dia sangat berpengaruh di Argentina. Semua anak muda yang menyukai bola basket di sana ingin meniru dan memastikan gaya dan gerakan mereka sama seperti Manu Ginobili” — Enrique Tocachier

date Sabtu, 10 April 2010

0 komentar to “manu ginobili”

Leave a Reply: